SUMBAR | klikgenz – Sumatera Barat (Sumbar) kembali berduka akibat musibah banjir bandang besar pada November 2025, yang memakan korban jiwa di Padang dan Agam, serta merusak infrastruktur secara masif. Tragedi ini bukan yang pertama. Sejarah mencatat, wilayah Minangkabau memang memiliki riwayat panjang bencana banjir bandang, yang ironisnya terus berulang sejak era kolonial hingga hari ini.
Apa yang membuat Sumbar begitu rentan, dan pelajaran apa yang terabaikan dari waktu ke waktu?
Jejak Bencana Sejak Abad ke-19: Warisan Bencana Kolonial
Sejak zaman penjajahan Belanda, Sumbar telah menjadi saksi bisu keganasan alam. Bencana pada masa itu berfokus pada rusaknya infrastruktur vital yang dibangun kolonial:
-
Banjir Besar Tanah Datar (1875): Bencana di Fort van Der Capellen ini tak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi besar karena merendam gudang kopi.
-
Aktivitas Marapi dan Lembah Anai (1892 & 1904): Curah hujan ekstrem dan aktivitas Gunung Marapi menjadi pemicu utama. Banjir bandang di Lembah Anai pada tahun 1892 menghancurkan jalur kereta, jembatan, dan memutuskan komunikasi hingga berbulan-bulan. Bencana serupa terulang pada 1904 dan bahkan terjadi enam kali antara 1904–1906, berkali-kali menekan sistem infrastruktur kolonial.
Era Modern: Pembangunan Cepat, Mitigasi Lambat
Pasca-kemerdekaan, meskipun pembangunan berjalan pesat, masalah mitigasi bencana dan tata ruang tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.






