News  

Sumbar Darurat Banjir Bandang: Kilas Balik 150 Tahun Bencana

Dari Tanah Datar 1875 hingga tragedi 2025, Sumatera Barat terus dihantui bencana berulang. Riset menunjukkan kombinasi deforestasi, tata ruang buruk, dan cuaca ekstrem menjadi pemicu utama.

Redaksi
dok. Antara
  • Solok Selatan (1978–1979): Banjir besar yang membawa lumpur dan kayu dari lereng Gunung Marapi memaksa warga mengungsi, menandai bahwa ancaman bencana dari hulu tidak pernah hilang.

  • Lima Puluh Kota (2020): Meski nihil korban jiwa berkat kesigapan warga, hujan deras meluapkan sungai di Kecamatan Guguak, menjadi peringatan bahwa risiko banjir lokal tetap tinggi.

  • Banjir Bandang 2025: Curah hujan ekstrem yang melanda Sumbar dan Sumatera Utara sejak November 2025 kembali menunjukkan kerentanan wilayah ini terhadap cuaca ekstrem. Kerusakan besar dan korban jiwa kembali tercatat, mengingatkan kita akan kegagalan dalam adaptasi lingkungan.

Faktor Penyebab: Kombinasi Alam dan Ulah Manusia

Kerentanan Sumbar terhadap banjir bandang adalah hasil dari kombinasi kompleks antara faktor alam dan intervensi manusia:

  1. Faktor Alam: Topografi wilayah yang didominasi pegunungan, curah hujan yang tinggi, serta fenomena seperti La Nina, mempercepat aliran air dari hulu ke hilir.

  2. Faktor Manusia: Inilah yang sering kali memperbesar dampak. Deforestasi, pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan dan tambang, serta pembangunan di sepanjang aliran sungai, secara drastis mengurangi daya serap tanah dan kapasitas sungai untuk menampung air.

Baca Juga  Pemerintah Longgarkan Impor 10 Komoditas, STPW Waralaba Kini Bisa Diurus di Pemda

Kesimpulan:

Sejarah panjang bencana di Sumatera Barat adalah panggilan darurat. Banjir bandang tidak hanya merenggut nyawa dan merusak rumah, tetapi juga melumpuhkan pertanian, transportasi, dan komunikasi. Kejadian berulang ini menegaskan pentingnya tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, serta konservasi hutan secara ketat untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.*