Tiga provinsi terdampak yakni Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara mengalami rangkaian banjir bandang hingga longsor dalam waktu yang berdekatan.
“Tempat-tempat hunian saat ini merupakan akumulasi tumpukan endapan banjir bandang purba yang sudah berulang kali terjadi. Secara alamiah, itu memang jalur banjir bandang,” kata Dwikorita dalam acara Pojok Bulaksumur di UGM, Sleman, Kamis (4/12).
Usai banjir bandang besar di DAS Bahorok, Taman Nasional Gunung Leuser pada 2003, ia melakukan studi dan menemukan bahwa kejadian serupa pernah terjadi 50 tahun sebelumnya. Saat itu wilayah terdampak masih berupa hutan dan belum menjadi hunian.
Menurutnya, fenomena alam ini memiliki periode ulang yang panjang. Jika siklus 2003 menjadi patokan, banjir bandang berikutnya semestinya terjadi sekitar tahun 2053.
“Sekarang baru 2025 sudah kejadian, artinya siklusnya menjadi lebih pendek,” ujarnya.
Tidak hanya lebih cepat, kejadian terbaru juga melanda banyak titik DAS berbeda. Hal ini menunjukkan adanya aspek non-alamiah yang memperparah risiko.
“Kerusakan lahan membuat bencana terjadi lebih sering dan intensitasnya lebih dahsyat,” tegas Guru Besar Geologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana UGM itu.
Antropogenik & Pemetaan Ulang Tata Ruang
Dwikorita menilai campur tangan manusia (antropogenik) menjadi faktor pemicu perubahan kondisi lahan dan memperpendek siklus bencana.
Karena itu, ia menyarankan pemetaan ulang kawasan bekas banjir bandang purba serta penataan tata ruang yang lebih ketat.
Salah satu indikasi kuat adalah masih terlihatnya kipas aluvial, yaitu endapan sedimen berbentuk kipas yang terbentuk ketika aliran sungai deras keluar dari area pegunungan ke dataran lebih rendah.






