Sejak hari pertama penanganan darurat, bantuan berupa sembako, pakaian, hingga kebutuhan kesehatan berdatangan dari berbagai pihak. Ada yang berasal dari pemerintah, lembaga kemanusiaan, organisasi masyarakat, hingga sumbangan pribadi tanpa publikasi. Semua dilakukan demi memastikan kebutuhan dasar warga terdampak terpenuhi.
Namun kenyataan di lapangan tidak selalu semulus niat baik yang mengalir. Beberapa relawan mengaku kerap menemui warga yang menuntut bantuan, meski rumah dan harta mereka sama sekali tidak terdampak banjir maupun longsor. Hanya karena tidak mendapatkan paket sembako, sebagian di antaranya menyuarakan keberatan dan menilai bahwa bantuan harus dibagikan “merata” kepada seluruh masyarakat.
Di satu sisi, suara itu menunjukkan bahwa masyarakat punya kepedulian dan rasa ingin dihargai. Namun di sisi lain, ini juga menegaskan bahwa edukasi sosial perlu terus dibangun bahwa bantuan bencana diperuntukkan terutama bagi mereka yang benar-benar kehilangan rumah, akses pangan, dan sumber penghidupan.
Ketika musibah datang, ada yang tengah berjuang bertahan tanpa selimut, tanpa dapur untuk memasak, bahkan tanpa tempat tidur untuk melepas lelah. Di saat seperti itulah kita diingatkan: empati sejati bukan soal mendapatkan sesuatu, tapi memastikan mereka yang paling membutuhkan tidak tertinggal.
Mari kita membuka mata dan hati. Bantuan adalah wujud cinta dan kepedulian, bukan soal siapa yang lebih berhak, tetapi siapa yang lebih membutuhkan.
Bencana sesungguhnya tidak hanya merusak jembatan dan jalan, tetapi juga bisa meretakkan solidaritas bila kita tidak saling memahami. Karena itu, mari jadikan musibah ini sebagai pelajaran penting untuk memperkuat rasa kebersamaan. Kita jaga saudara yang sedang terpuruk, kita bantu mereka yang butuh uluran tangan. Dan bila hari ini kita masih dalam keadaan baik, itu artinya kita diberi kesempatan untuk menjadi penolong bukan penerima bantuan.
Semoga kepedulian tetap menyala, bukan hanya hari ini. Karena ketika bencana datang, yang paling cepat hadir seharusnya bukan banjirnya, tapi kemanusiaannya.*





