Perubahan iklim menjadi salah satu isu global paling krusial pada saat ini karena dampaknya tidak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi juga menjangkau dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, naiknya suhu rata-rata bumi, hingga ancaman kenaikan permukaan air laut menunjukkan bahwa krisis iklim merupakan tantangan nyata bagi peradaban manusia.
Berdasarkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), perubahan iklim adalah kondisi perubahan yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan yang terjadi di luar variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu yang sebanding. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan bahwa emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia merupakan penyebab utama pemanasan global yang mengancam ekosistem dan kesejahteraan manusia.
Perubahan iklim telah memberikan tantangan serius bagi negara-negara di berbagai belahan dunia dan dampaknya tidak lagi bisa diabaikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menegaskan bahwa dampak perubahan iklim bersifat irreversible, yang berarti tidak dapat diubah untuk ke kondisi semula setelah terjadi, yang dapat dilakukan hanya mengendalikan untuk mengurangi dampaknya di masa mendatang.
Dua sektor krusial bagi kehidupan manusia yang rentan terkena dampak dari perubahan iklim adalah ketahanan pangan dan sumber daya alam. Pertanian yang merupakan tulang punggung ketahanan pangan sangat bergantung pada iklim. Curah hujan ekstrem, kemarau panjang, dan perubahan pada pola musim tanam yang disebabkan oleh perubahan iklim berdampak pada penurunan produksi pangan dan gangguan pada rantai pasok komoditas pangan. Hal ini pada akhirnya turut memengaruhi keterjangkauan harga dan akses distribusi pangan. Selain berdampak terhadap ketahanan pangan, perubahan iklim juga mempercepat degradasi sumber daya alam.
Kerusakan sumber daya alam tidak hanya menyebabkan masalah lingkungan, melainkan juga semakin memperburuk masalah ekonomi dan sosial. Ketika ekosistem rusak, biaya pemulihan akan jauh lebih mahal daripada upaya pencegahan. Sebaliknya juga, praktik pertanian dan manajemen sumber daya alam yang tidak berkelanjutan juga berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca dan memperparah dampak perubahan iklim. Pada akhirnya, perubahan iklim mengancam kemampuan negara-negara untuk memastikan keamanan pangan, memberantas kemiskinan, dan mencapai pembangunan berkelanjutan.
Kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang rentan terkena dampak perubahan iklim. Posisi geografis negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa serta secara topografis yang lebih banyak terdiri dari dataran pesisir dan dataran pertanian rendah di daerah aliran sungai membuat lebih rentan terhadap bencana alam dan peristiwa cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim.
Selain itu, kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang utamanya bergantung pada mata pencaharian di sektor pertanian membuat lebih berisiko terhadap dampak perubahan iklim. ASEAN sendiri sebagai organisasi regional berkomitmen untuk menangani perubahan iklim, khususnya melalui dialog multisektoral untuk berbagai isu, antara lain pertanian, kehutanan, energi, transportasi, manajemen bencana, dan keuangan. Namun demikian, negara-negara anggotanya masih memiliki keterbatasan kapasitas mitigasi dan adaptasi.
Indonesia dan Thailand merupakan negara-negara di Asia Tenggara yang terdampak perubahan iklim di sektor ketahanan pangan. Sebagai negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dan Thailand memiliki banyak kesamaan dalam menghadapi kerentanan atas dampak perubahan iklim. Keduanya terletak di wilayah tropis dengan garis pantai yang panjang, ekosistem pesisir yang rentan, serta bergantung pada sektor pertanian dan perikanan. Hal ini membuat kedua negara menghadapi risiko serupa akibat meningkatnya suhu global, curah hujan yang tidak menentu, dan naiknya permukaan laut. Selain itu, Indonesia dan Thailand sama-sama menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Berdasarkan INFORM Risk Index yang disusun oleh Komisi Eropa untuk memahami risiko krisis kemanusiaan pada 191 negara, Indonesia dan Thailand sama-sama beresiko tinggi terhadap bahaya dan paparan dari perubahan iklim, namun memiliki kemampuan adaptasi dan mitigasi yang cukup baik dibandingkan negara berkembang lainnya. Selain itu, Indonesia dan Thailand merupakan bagian dalam 20 negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar global, serta dua negara penyumbang emisi terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Thailand: Pendekatan Mitigasi dan Adaptasi Berbasis Komunitas
Thailand adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-20 di dunia, dengan jumlah populasi mencapai 71 juta jiwa berdasarkan data World Bank pada tahun 2024. Luas wilayah Thailand sebesar 513,120 km2, diperkirakan luas wilayah pertanian mencapai 46 persen dan luas wilayah hutan mencapai 31 persen dari total wilayah Thailand. Perekonomian Thailand 90 persen berbasis pada sektor industri dan jasa, Sektor pertanian menyumbang sekitar 10 persen pada keseluruhan PDB Thailand, namun sektor pertanian menyerap kurang lebih 33 persen dari total tenaga kerja.
Thailand merupakan negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, antara lain yang menyebabkan meningkatnya resiko bencana alam, salah satunya adalah pada tahun 2011 Thailand menghadapi banjir terparah dalam sejarahnya yang berdampak terhadap lebih dari 13 juta orang dan menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari 45 miliar dollar AS.
Pada sektor pertanian, berbagai kejadian ekstrem terkait iklim, seperti kekeringan, gelombang panas, pola curah hujan yang tidak menentu, badai, banjir, serta peningkatan hama serangga, telah berdampak terhadap produktivitas pertanian Thailand, khususnya untuk tanaman pokok seperti padi, jagung, dan singkong. Perubahan iklim juga mempercepat degradasi ekosistem kehutanan, meningkatkan risiko kepunahan flora dan fauna, serta meningkatkan risiko kebakaran hutan. Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan kenaikan permukaan laut yang berdampak secara langsung terhadap wilayah pesisir Thailand. Selama tiga dekade terakhir, sekitar 30 persen garis pantai Thailand telah mengalami abrasi pantai, yang menyebabkan perkiraan kerugian nilai lahan lebih dari 1,3 miliar dolar AS dan belum termasuk nilai kerusakan ekonomi lainnya.
Bagi Thailand, strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting untuk menjawab tantangan lingkungan dan sosio-ekonomi. Thailand telah menyelaraskan kebijakan iklimnya dengan kerangka global, termasuk Paris Agreement dan Sustainable Development Goals.
Thailand berkomitmen mencapai netral karbon (carbon neutrality) pada 2050 dan emisi nol bersih (net-zero emissions) pada 2065. Langkah prioritas yang dilakukan Thailand antara lain mencakup: (i) fokus pada energi berkelanjutan; (ii) reforestasi untuk memperluas tutupan hutan hingga 55 persen dari wilayah nasional; (iii) menetapkan Nationally Determined Contributions (NDCs), dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 30–40 persen pada 2030; (iv) menyusun Rencana Adaptasi Nasional untuk memperkuat ketahanan di sektor air, pertanian, kesehatan, pariwisata, dan perkotaan; serta (iv) mendorong pembiayaan iklim, transfer teknologi, dan kerja sama dalam kerangka UNFCCC.
Strategi yang diimplementasikan Thailand berfokus pada menciptakan keseimbangan antara mitigasi dan adaptasi dengan integrasi ketahanan iklim dalam pembangunan sosio-ekonomi. Dalam 2023–2027 National Economic and Social Development Plan, Pemerintah Thailand menegaskan kembali target mewujudkan ekonomi sirkular dan masyarakat rendah karbon, serta komitmen mengurangi risiko dan dampak dari bencana alam dan perubahan iklim. Sejak tahun 1989, Thailand telah melarang penebangan di hutan alam dan perambahan hutan sosial, serta sejak tahun 2006 melarang ekspor kayu gelondongan dan gergajian yang berasal dari hutan alam.
Thailand memprioritaskan penerapan langkah mitigasi dan adaptasi berbasis komunitas, khususnya untuk di sektor pertanian. Petani menghadapi keterbatasan yang signifikan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, mengingat pengetahuan dan pemahaman yang terbatas mengenai risiko iklim dan praktik adaptif, akses yang terbatas terhadap teknologi dan inovasi pertanian, serta sumber daya keuangan yang tidak memadai untuk berinvestasi dalam sistem pertanian yang tangguh terhadap iklim. Strategi mitigasi dan adaptasi berbasis komunitas penting untuk dilakukan untuk mendukung keberlanjutan program sekaligus memperkuat ketahanan lokal.
Untuk mitigasi di sektor pertanian, Thailand berfokus pada menyeimbangkan langkah mencapai ketahanan pangan dengan pengurangan emisi dan peningkatan penyerapan karbon. Thailand menerapkan sistem Climate-Smart Agriculture yang berkelanjutan melalui diversifikasi tanaman pangan untuk mengurangi ketergantungan pada satu komoditas, penggunaan pupuk rendah emisi, serta pengurangan metana dari sawah dan ternak. Inovasi pakan seperti penggunaan kulit manggis atau jantung pisang dalam pakan ternak mampu menurunkan emisi metana hingga 30 persen tanpa menurunkan produktivitas. Thailand juga mengembangkan varietas padi tahan kekeringan dan banjir melalui kerja sama riset dengan universitas, serta mendorong pemanfaatan teknologi irigasi hemat air untuk petani. Advokasi pengurangan limbah pertanian dan penggunaan sumber energi berkelanjutan dalam pertanian juga dilakukan, khususnya dengan melibatkan petani, komunitas lokal, dan universitas.
Mitigasi dan adaptasi berbasis komunitas juga diterapkan di sektor kehutanan, khususnya melalui agroforestri. Sistem agroforestri merupakan praktik penggunaan lahan yang mencakup pemilihan kombinasi spesies pohon dan tanaman yang tepat, pengaturan ruang yang sesuai, serta pengelolaan yang mengoptimalkan produktivitas sekaligus kesehatan ekologi tanah. Sistem agroforestri dapat menyerap dan menyimpan sejumlah besar karbon dalam pohon dan tanah, serta mengakumulasi bahan organik stabil dalam tanah.
Melalui agroforestri, Thailand berusaha mewujudkan pertanian ramah iklim yang juga dapat memberikan nilai tambah ekonomi melalui diversifikasi produk, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat menguatkan kapasitas petani, menyejahterakan masyarakat sekitar hutan, dan meningkatkan ketahanan pangan. Agroforestri dilakukan dengan mengintegrasikan penanaman pohon hutan native yang dapat menyerap karbon (pohon jati, trembesi, akasia, mahogani, dan cendana) dengan tanaman bernilai komersial yang cenderung lebih cepat tumbuh (tanaman buah tropis, pohon karet, eukaliptus, jagung, kopi, tanaman jamur layak konsumsi, dan sebagainya).
Menariknya, Thailand telah mengembangkan sistem agroforestri sejak tahun 1969 melalui Royal Project Foundation yang diinisiasi oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan mengurangi tingkat kemiskinan. Hal yang dilakukan Pemerintah Thailand menunjukkan bagaimana intervensi kebijakan oleh pemerintah dapat mengubah praktik petani dari ladang berpindah ke sistem agroforestri permanen. Selain itu, sejak tahun1987, Thailand menerapkan kebijakan pengelolaan hutan masyarakat melalui pembentukan kelompok petani hutan dan pemberian pelatihan untuk pengembangan kapasitas, serta mendorong hilirisasi produk agroforestri.
Pemerintah Thailand juga memberikan hak penggunaan lahan hutan bagi petani untuk agroforestri. Melalui kebijakan ini, komunitas petani lokal yang telah tinggal menetap di suatu lahan sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai hutan cadangan atau kawasan lindung dapat mengajukan izin untuk menetap dan mengelola lahan tersebut secara kolektif dan melestarikan sumber daya alamnya.
Untuk mencapai target mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, pada tahun 2007, Pemerintah Thailand membentuk National Committee on Climate Change Policy (NCCC) sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan kebijakan perubahan iklim dan dipimpin langsung oleh Perdana Menteri. Sebagai secretariat NCCC, pada tahun 2023, Department of Climate Change and Environment dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi, antara lain: (i) menyusun kebijakan, rencana, dan langkah-langkah nasional mengenai pengelolaan perubahan iklim, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan adaptasi terhadap perubahan iklim, serta mendorong penerapannya; (ii) memantau, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, rencana, dan langkah-langkah perubahan iklim nasional; (iii) melaksanakan kewajiban internasional, serta menentukan kebijakan dan posisi Thailand dalam perundingan perjanjian internasional yang terkait perubahan iklim; serta (iv) mengoordinasikan kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, organisasi internasional, dan negara mitra dalam pelaksanaan langkah-langkah pengelolaan perubahan iklim di Thailand.
Thailand merupakan contoh negara di Asia Tenggara yang progresif dalam memasukkan isu adaptasi iklim ke dalam kebijakan nasional, Thailand berhasil menunjukkan bahwa adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi dengan ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya alam bukan hanya soal mitigasi risiko, tetapi juga peluang memperkuat ekonomi dan menguatkan sinergi antarpemangku kepentingan.
Potensi Kolaborasi Indonesia dan Thailand
Indonesia juga menghadapi berbagai dampak perubahan iklim yang cukup kompleks. Salah satu yang paling mencolok adalah kenaikan suhu udara yang menyebabkan gelombang panas dan perubahan pola cuaca. Kondisi ini berdampak pada sektor pertanian, yang masih menjadi tulang punggung ekonomi di banyak provinsi.
Selain itu, dengan luas wilayah sekitar 1,9 juta km² dan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, namun juga sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya bergantung pada sumber daya alam, dampak perubahan iklim memberikan tantangan serius bagi pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia. Berdasarkan kajian Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, potensi kehilangan ekonomi di Indonesia akibat perubahan iklim dapat mencapai Rp115 triliun pada tahun 2024 apabila Pemerintah RI tidak melakukan intervensi kebijakan.
Pada April 2016 Indonesia menjadi salah satu negara anggota PBB yang menandatangani Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change, yang kemudian telah diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016, sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dari berbagai sektor, mendorong pelestarian hutan, meningkatkan penggunaan energi terbarukan, serta melibatkan peran masyarakat dalam pengendalian perubahan iklim. Selanjutnya Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmen untuk mencapai net-zero emissions pada 2060 atau lebih cepat.
Dalam upaya mencapai Nationally Determined Contribution (NDC), restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove menjadi salah satu aksi prioritas Indonesia. Gambut dan mangrove diyakini mempunyai kapasitas penyimpanan karbon lebih besar dibandingkan jenis tanaman lain. Namun demikian, terdapat tantangan dalam restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Untuk restorasi gambut, hampir setengah luasan lahan gambut tropis Indonesia telah mengalami degradasi fungsi yang diakibatkan oleh pembangunan kanal, penebangan hutan, konversi menjadi lahan pertanian, dan kebakaran.





