Jakarta | KlikGenZ — Konferensi Jurnalis Sains Sedunia atau World Conference of Science Journalists (WCSJ) ke-13 di Pretoria, Afrika Selatan, Kamis (4/12/2025), menyoroti lemahnya penyampaian fakta krisis iklim oleh media dan kalangan ahli kepada publik. Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, menilai isu mitigasi perubahan iklim masih tertutup oleh narasi adaptasi yang justru mengaburkan akar persoalan.
Dalam opini yang dimuat Tempo.co, Senin (8/12/2025), Bagja menyebut pemerintah Indonesia lebih mengutamakan pendekatan adaptasi dalam kerangka nationally determined contributions (NDC). Hal ini bahkan mencantumkan “deforestasi yang direncanakan” sementara negara lain berfokus mencapai keseimbangan antara deforestasi dan pemulihan hutan.
Ketika ahli dan media mengamini narasi adaptasi, katanya, masyarakat digiring mempercayai alam rusak secara alamiah. Padahal, menurut Profesor Lingkungan Universitas São Paulo, Paulo Artaxo, krisis iklim saat ini adalah akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali — berbeda dengan lima kepunahan massal sebelumnya.
“Bagi para peragu dan penolak, krisis iklim merupakan peristiwa biasa. Mereka mengabaikan fakta ilmiah bahwa perubahan iklim kali ini disebabkan manusia,” tulis Bagja.
Kurangnya konteks saintifik dalam pemberitaan
Bagja menyoroti pemberitaan media di Indonesia yang kerap menampilkan bencana hidrometeorologi hanya dari sisi seremonial bantuan atau debat status bencana tanpa mengaitkannya dengan perubahan iklim dan deforestasi.
Ia mengutip kajian Maxwell T. Boykoff dalam buku Who Speaks for the Climate? (2012), bahwa media global sering gagal menerjemahkan konsensus ilmiah menjadi bahasa yang mampu memicu aksi publik.
“Krisis iklim sulit menciptakan paradigma baru karena dampaknya tidak langsung menginfeksi individu seperti pandemi COVID-19,” jelasnya.
Fenomena ini, menurut Bagja, merupakan penyangkalan fetisistik, istilah filsuf Slovenia Alenka Zupančič, di mana publik mengakui data krisis tapi tetap tidak terdorong bertindak.






