Sajian ini terdiri dari tiga komponen utama: serundeng kelapa sangrai, irisan buah Simauang (sebagian daerah menyebutnya kluwek), serta ikan asin kecil yang digoreng kering. Perpaduan tersebut menghasilkan sensasi pedas, gurih, dan sedikit asam yang menggugah selera.
Proses memasaknya pun sarat tradisi. Kelapa parut disangrai pelan di atas api kecil hingga berwarna cokelat keemasan dan menghasilkan aroma wangi yang khas. Ikan asin umumnya jenis kapasan atau japuik digoreng garing agar renyah saat dicampurkan nanti. Sementara buah Simauang dipotong tipis untuk kemudian ditumis bersama lado giling Minang.
Seluruh bahan kemudian dicampur menjadi satu hingga merata, menghasilkan tekstur kering namun penuh rasa.
“Dulu makanan ini dibawa ke ladang atau sawah. Sampai sekarang tetap favorit kalau dimakan dengan nasi hangat. Nikmatnya tak tergantikan,” ujar Mak Eri, warga Nagari Sumpur Kudus, yang masih rutin membuat Samba Lado Pado untuk keluarganya.
Selain enak, Samba Lado Pado dikenal praktis, tahan dibawa bepergian, dan sering dijual dalam kemasan kecil di pasar tradisional. Inilah yang membuatnya kembali dilirik generasi muda sebagai peluang bisnis kuliner lokal bernilai ekonomi tinggi.
Tak hanya menawarkan rasa autentik Minangkabau, sajian ini juga memiliki cerita warisan budaya yang kuat cocok untuk dikemas sebagai produk kuliner masa kini, misalnya menggunakan branding lokal premium, kemasan higienis, hingga pemasaran digital.
Kini, tantangan sekaligus peluang muncul: bagaimana Samba Lado Pado tetap lestari di meja makan masyarakat, sekaligus bertumbuh menjadi kuliner legenda yang naik kelas bersama kreativitas Gen Z.






