ARTIKEL | KLIKGENZ – Bencana tidak pernah menunggu siapa pun siap secara politik. Ia datang tiba-tiba, merobohkan rumah, memutus jalan, merusak jembatan, melumpuhkan ekonomi, dan menguji nurani orang-orang yang diberi amanah oleh rakyat.
Namun ironisnya, di tengah situasi genting itu, masih terdengar sayup-sayup ciloteh para pemangku jabatan merasa tersinggung harga diri, sibuk merawat ego, dan membangun narasi politik penuh kebencian. Seolah penderitaan rakyat hanyalah latar panggung bagi kepentingan pribadi.
Tuan dan puan yang katanya terhormat, mari bertanya jujur pada nurani masing-masing: hentikan narasi politik saat bencana.
Karena misi kemanusiaan tidak mengenal waktu tunggu untuk seremoni panjang dan basa-basi yang melelahkan.
Instruksi penanganan darurat sejatinya jelas: gerak cepat, gerak tepat, efisien. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Tidak ada ruang bagi adu gengsi, apalagi sandiwara politik. Dalam kondisi seperti ini, keberpihakan bukan diukur dari pidato, tetapi dari keberanian berdiri di garis depan.
Saya menghargai setiap bentuk kepedulian, termasuk bantuan yang disalurkan ke kampung orang. Namun izinkan saya mengingatkan: kampung kita sendiri juga terluka.
Di Sikucua, jalur utama transportasi terdampak longsor di banyak titik. Jembatan Perumahan Oman Sungai Janiah–Durian Kadok rusak berat dan terpaksa ditutup untuk kendaraan roda empat. Jika jembatan ini putus total, sekitar 250 KK dari Korong Durian Kadok dan Korong Lansano akan terisolasi.
Belum lagi rusaknya kaki jembatan Kampuang Paneh Aia Sonsang. Apabila jembatan ini gagal fungsi, maka masyarakat Korong ASDA, Korong Patamuan, dan Kampuang Solok lebih dari 309 KK akan kehilangan akses utama penghidupan mereka.
Itu baru sebagian kecil.
Masih ada taluik jalan yang rusak, rumah warga terdampak longsor, kapalo banda yang rusak berat, rumah ibadah yang terancam abrasi Sungai Batang Dareh, serta lahan pertanian dan perkebunan yang disapu banjir.
Jika penanganan terlambat, dampaknya dapat disimpulkan dengan mudah:
akses terputus, hasil bumi tak bisa dijual, gagal panen, produksi terhenti. Pada akhirnya, ekonomi masyarakat rapuh dan lumpuh. Tidak ada sirene darurat, tidak ada tenda pengungsian, tetapi perlahan masyarakat akan “mati” mati ekonominya, yang menjadi penopang hidup mereka.
Memang, masyarakat Sikucua tidak tidur di tenda-tenda darurat dan tidak mencatat korban jiwa seperti bencana besar lainnya. Namun jangan keliru menilai. Ketika transportasi lumpuh dan penghidupan terhenti, itu juga sebuah akhir yang sunyi.

Sebagai orang-orang yang lahir dari rahim rakyat dan dipilih oleh rakyat, kitalah yang seharusnya berdiri paling depan. Memberi rasa aman, memastikan masa depan masyarakat tidak runtuh oleh kelalaian dan kegaduhan politik.
Negeri ini tidak kekurangan pidato. Yang kurang adalah keberanian untuk bekerja dalam diam dan ketulusan untuk mendahulukan manusia di atas segalanya.
Jika ada yang memilih berdiri di pinggir dan menyerah, silakan.
Saya memilih tetap berdiri bersama masyarakat saya.
Karena saat bencana datang, kemanusiaan tidak butuh cerita ia butuh tindakan.*






