Catatan untuk Kita di Tengah Bencana yang Melanda Daerah
Oleh : Redaksi KlikGenZ.com
KlikGenZ – 28 November 2025 akan tercatat sebagai salah satu hari kelam dalam perjalanan sejarah kemanusiaan di Pulau Sumatera. Hujan lebat yang mengguyur tanpa henti memicu bencana banjir bandang dan galodo di berbagai wilayah, khususnya di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Masyarakat terhenyak, terkejut, dan tak sedikit yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, bahkan orang-orang tercinta.
Di Sumatera Barat, sejumlah daerah mengalami kerusakan parah. Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, dan Kabupaten Tanah Datar menjadi wilayah dengan dampak terberat. Permukiman padat penduduk diterjang banjir bandang, rumah-rumah hanyut, fasilitas umum rusak, dan korban jiwa pun berjatuhan. Luka fisik dan batin menyatu dalam duka yang sama.
Di tengah kondisi darurat tersebut, para kepala daerah bupati, wali kota, hingga pemerintah provinsi bergerak cepat dengan menetapkan status tanggap darurat bencana. Dari tingkat nagari hingga kabupaten/kota, upaya penanganan dilakukan sekuat kemampuan yang ada. Posko-posko darurat didirikan, relawan berdatangan, aparat dan masyarakat bahu-membahu mengevakuasi warga dari wilayah terdampak menuju tempat yang lebih aman.
Bencana cuaca ekstrem ini juga berdampak serius terhadap infrastruktur. Jalan dan jembatan terputus diterjang banjir bandang, menyebabkan sejumlah wilayah terisolasi. Lahan pertanian rusak, sumber penghidupan masyarakat lumpuh, dan roda kehidupan terhenti seketika. Semua ini menjadi pengingat bahwa bencana tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga merusak harapan.
Melihat kedahsyatan bencana ini ditambah informasi BMKG yang menyebutkan potensi cuaca ekstrem masih dapat terjadi di wilayah Sumatera dan sekitarnya maka mitigasi bencana menjadi kebutuhan mendesak. Bukan semata soal wacana, tetapi upaya nyata untuk meminimalkan korban jiwa dan dampak terburuk apabila ancaman serupa kembali terjadi.
Hari ini, hampir tiga pekan sejak bencana melanda. Evakuasi korban telah dilakukan, dan seluruh satuan kerja di bawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), baik pusat maupun daerah, terus bekerja keras. Penanganan darurat, distribusi bantuan, layanan kesehatan, dan pemulihan awal terus berjalan. Dalam setiap fase bencana, satu hal yang tidak boleh dilupakan: penyelamatan jiwa manusia adalah yang paling utama. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama, keikhlasan, dan semangat saling menguatkan.
Kepedulian publik patut diapresiasi. Bantuan datang dari berbagai penjuru baik secara kelompok maupun individu termasuk melalui penggalangan dana dengan beragam cara. Ini adalah potret indah solidaritas bangsa.
Namun, di sisi lain, kita juga menyaksikan dan mendengar hiruk-pikuk narasi yang justru mengaburkan esensi kemanusiaan. Perdebatan di ruang publik, terutama soal desakan menjadikan bencana Sumatera sebagai bencana nasional, kerap mendominasi tajuk media massa dan media elektronik. Bahkan ada yang berteriak lantang, seolah-olah status adalah segalanya.
Perlu diingat: korban bencana tidak membutuhkan status. Mereka membutuhkan pertolongan, penyelamatan, dan kepastian hidup. Pemerintah pusat telah menyampaikan sikapnya secara tegas melalui Panglima Tertinggi Republik Indonesia, Presiden Prabowo Subianto, bahwa negara hadir dan mampu menangani darurat bencana di Sumatera.
Hari ini, masyarakat terdampak di tiga provinsi tersebut lebih membutuhkan hunian sementara maupun hunian tetap, kebutuhan pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan pemulihan psikososial. Mereka tidak sedang menunggu debat kebijakan atau adu argumentasi para pakar di ruang-ruang diskusi. Yang mereka harapkan adalah gerak nyata, cepat, dan berpihak pada kemanusiaan.
Jika Presiden telah menyatakan bahwa Indonesia masih mampu menangani darurat bencana di Sumatera, lalu mengapa kita masih ragu? Mengapa energi kita habis untuk saling menyalahkan, berdebat soal narasi, atau merasa paling benar?
Inilah saatnya kita semua sebagai sesama anak bangsa membangun rasa peduli dan empati. Jika tidak mampu membantu secara langsung, setidaknya berupaya menjadi jembatan kebaikan bagi saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Kebersamaan dan kepedulian nasional adalah kunci agar luka ini perlahan pulih.
Pada akhirnya, di tengah bencana, yang paling penting bukanlah siapa narasinya paling hebat, melainkan siapa yang paling peduli. Dan semoga catatan ini menjadi pengingat bagi hati kita semua.*






