ACEH | KlikGenZ — Lumpur belum sepenuhnya mengering, jalanan masih terputus, dan hutan pegunungan Aceh menyisakan sunyi pasca banjir bandang. Namun di tengah keterbatasan itu, sekelompok orang berjalan perlahan menanjak, memikul beban yang beratnya tak sebanding dengan tenaga manusia biasa.
Mereka bukan tentara, bukan pula relawan bersenjata lengkap. Mereka adalah petugas PLN berseragam biru, berlumur keringat dan lumpur yang memilih maju ketika sebagian besar orang masih bertahan di tempat aman.
Banjir bandang telah meluluhlantakkan infrastruktur kelistrikan. Trafo rusak, jaringan putus, dan sejumlah wilayah pegunungan terisolasi total. Kendaraan tak bisa masuk, alat berat mustahil menjangkau. Satu-satunya cara: berjalan kaki, menembus hutan, sambil memikul trafo menuju puncak gunung.
Dalam sebuah video yang kemudian viral, terlihat jelas bagaimana perjuangan itu berlangsung. Sebuah trafo komponen vital dengan bobot ratusan kilogram diangkat bersama-sama menggunakan bambu sebagai penyangga. Tidak ada mesin, tidak ada derek. Hanya bahu, tangan, dan tekad yang disatukan.
Setiap langkah adalah pertaruhan. Jalan setapak licin, tanjakan curam, akar pohon menghadang, napas tersengal. Kadang langkah terhenti, bukan karena menyerah, melainkan untuk menyelaraskan irama: satu tarikan napas, satu langkah maju.
Tak ada teriakan komando. Yang ada hanya saling menguatkan dengan pandangan mata dan isyarat sederhana. Mereka paham, jika satu lengah, beban bisa jatuh dan risiko cedera mengintai.
“Ini demi listrik warga,” menjadi alasan yang terus diulang, seperti doa yang menahan lelah.
Bagi mereka, listrik bukan sekadar arus. Ia adalah cahaya bagi rumah yang gelap, penghubung bagi keluarga yang terputus komunikasi, penopang alat medis, dan awal dari bangkitnya kembali kehidupan pasca bencana.
Perjuangan itu tidak berhenti di darat. Di lokasi lain, petugas PLN terlihat bekerja di ketinggian tiang sutet, memperbaiki jaringan yang rusak dengan risiko tinggi. Angin, sisa hujan, dan medan sulit tak mengendurkan kewaspadaan. Peralatan keselamatan lengkap terpasang, profesionalisme tetap dijaga.
Di balik semua itu, ada keluarga yang mereka tinggalkan sementara. Ada kenyamanan yang dikorbankan. Ada rasa cemas yang tak sempat diucapkan. Namun semuanya disimpan rapi di balik seragam kerja.
Aksi heroik ini menuai apresiasi luas dari masyarakat. Ucapan terima kasih mengalir di media sosial, bukan karena dramatisasi, melainkan karena publik menyaksikan sendiri: ada pengabdian yang lahir dari ketulusan.
Pemulihan listrik yang cepat membantu percepatan evakuasi, distribusi bantuan, hingga normalisasi aktivitas sosial dan ekonomi warga terdampak. Cahaya yang kembali menyala menjadi simbol bahwa Aceh tidak sendirian.
Kisah ini bukan sekadar laporan pemulihan jaringan. Ia adalah cerita tentang ketangguhan manusia, tentang kerja sunyi di garis depan, dan tentang mereka yang memilih memikul beban berat agar orang lain bisa kembali hidup dengan terang.
Terima kasih kepada para petugas PLN pahlawan kelistrikan Indonesia yang telah menembus hutan, menaklukkan medan, dan mengembalikan cahaya.
Mari kita doakan keselamatan dan kelancaran tugas mereka. Jika Anda menyaksikan perjuangan serupa, bagikan kisah ini. Karena harapan, seperti listrik, harus terus dialirkan. (*)






