Hubungan antara kerusakan hutan dan bencana banjir bandang serta longsor sesungguhnya sangat jelas dan bersifat sebab–akibat. Ketika tutupan hutan hilang, kemampuan tanah untuk menyerap air hujan menurun drastis. Akar pohon yang selama ini berfungsi menahan air dan mengikat tanah tidak lagi bekerja, sehingga limpasan air permukaan meningkat tajam. Dalam kondisi seperti ini, hujan lebat dengan cepat berubah menjadi aliran deras yang membawa lumpur, kayu, dan material lainnya ke hilir, memicu banjir bandang yang menghancurkan pemukiman dan infrastruktur.
Kerusakan lereng akibat pembalakan liar dan pertambangan ilegal memperparah situasi. Lereng yang dibuka tanpa perhitungan teknis menjadi labil dan rentan runtuh. Tanah yang kehilangan struktur alaminya tidak mampu menahan beban air, sehingga longsor mudah terjadi, terutama saat curah hujan tinggi. Bencana ini tidak datang tiba-tiba, melainkan merupakan hasil akumulasi dari praktik perusakan lingkungan yang berlangsung lama dan berulang.
Dalam perspektif ini, banjir bandang dan longsor harus dipahami sebagai “akumulasi kejahatan ekologis”. Alam tidak tiba-tiba menjadi ganas; ia hanya “menagih” kerusakan yang telah lama dilakukan manusia. Setiap hektare hutan yang ditebang secara ilegal, setiap lereng yang dirusak demi tambang, adalah investasi bencana di masa depan. Ketika hujan turun, kerusakan yang sebelumnya tak terlihat berubah menjadi tragedi nyata.
Menyebut peristiwa ini sebagai bencana alam tanpa mengakui peran manusia dan kebijakan yang abai adalah bentuk pengingkaran terhadap fakta ekologis. Selama akar persoalan kerusakan hutan tidak disentuh, banjir bandang dan longsor akan terus berulang, dan masyarakat kembali menjadi korban dari kesalahan yang sama.
Negara tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas maraknya kejahatan lingkungan yang berujung pada bencana ekologis. Lemahnya pengawasan, tumpang tindih perizinan, serta inkonsistensi kebijakan lingkungan menciptakan ruang lebar bagi pembalakan liar dan pertambangan ilegal untuk tumbuh subur. Alih-alih menjadi pelindung hutan dan lingkungan, kebijakan sering kali justru membuka celah eksploitasi atas nama pembangunan dan investasi, tanpa pengendalian yang memadai.
Ironisnya, kehadiran negara lebih sering terasa setelah bencana terjadi. Bantuan darurat, evakuasi, dan rehabilitasi memang penting, tetapi semua itu datang terlambat bagi korban yang telah kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan nyawa. Negara absen pada fase paling krusial, yakni pencegahan. Ketika hutan ditebangi secara ilegal dan tambang beroperasi tanpa izin, pengawasan lemah dan penegakan hukum setengah hati. Pembiaran ini berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya “dibayar” dengan bencana.
Penegakan hukum lingkungan belum ditempatkan sebagai prioritas serius dalam agenda negara. Kejahatan lingkungan kerap diperlakukan sebagai pelanggaran administratif, bukan sebagai ancaman nyata terhadap keselamatan publik dan keberlanjutan hidup. Padahal, pembiaran terhadap perusakan lingkungan adalah bentuk kegagalan negara dalam melindungi warganya. Negara yang membiarkan hutan rusak sejatinya sedang membiarkan rakyatnya hidup dalam risiko bencana yang terus mengintai.
Dalam penanggulangan deforestasi dan kejahatan lingkungan, Kejaksaan menempati posisi strategis sebagai garda penting penegakan hukum. Tidak hanya berperan dalam proses penuntutan, Kejaksaan juga memiliki kewenangan signifikan dalam menjaga kepentingan negara dan melindungi aset publik yang dirugikan akibat kejahatan lingkungan. Pembalakan liar dan pertambangan ilegal bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan tindak pidana yang merusak ekosistem dan menimbulkan kerugian negara dalam skala besar.
Peran penuntutan terhadap pelaku pembalakan liar dan tambang ilegal menjadi krusial untuk memutus mata rantai kejahatan ekologis. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten akan menciptakan efek jera, sekaligus mengirimkan pesan bahwa perusakan lingkungan tidak lagi ditoleransi. Tanpa ketegasan ini, kejahatan lingkungan akan terus beradaptasi dan mencari celah hukum untuk bertahan.
Lebih jauh, Kejaksaan memiliki peran penting dalam penyelamatan keuangan dan kekayaan negara dari praktik ilegal yang merampas sumber daya alam. Melalui optimalisasi fungsi Jaksa Pengacara Negara (JPN), Kejaksaan dapat mendorong pemulihan kerugian negara dan kerusakan ekologis, baik melalui gugatan perdata, perampasan aset, maupun pemulihan lingkungan. Pendekatan ini menegaskan bahwa kejahatan lingkungan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius, bukan sekadar pelanggaran administratif. Tanpa keberanian hukum dan konsistensi penegakan, deforestasi dan kejahatan lingkungan akan terus menjadi ancaman laten bagi keselamatan dan masa depan masyarakat.
Banjir bandang dan longsor yang berulang di Sumatera menegaskan satu hal penting: bencana bukanlah peristiwa alamiah semata, melainkan akibat dari kerusakan lingkungan yang dibiarkan berlangsung lama. Deforestasi, pembalakan liar, dan pertambangan ilegal telah meruntuhkan daya dukung alam dan mengubah hujan menjadi ancaman mematikan. Selama kejahatan ekologis ini tidak dihentikan, bencana hanya akan terus berulang dengan korban yang semakin besar.
Karena itu, perlawanan terhadap perusakan lingkungan harus ditempatkan sebagai agenda serius negara. Negara tidak boleh sekadar hadir setelah bencana, tetapi harus tegas dan konsisten sebelum bencana terjadi. Penegakan hukum lingkungan yang kuat, termasuk peran strategis Kejaksaan dalam menindak pelaku, menyelamatkan aset negara, dan memulihkan kerusakan ekologis merupakan kunci pencegahan yang nyata. Menyelamatkan hutan berarti menyelamatkan kehidupan dan masa depan Sumatera. Tanpa keberanian kebijakan dan integritas penegakan hukum, bencana akan terus menjadi harga mahal yang harus dibayar oleh masyarakat atas kelalaian kita sendiri… semoga!!!






