
Menarik Sampan dari Hutan
Setelah sampan selesai dibuat di hutan, tantangan berikutnya adalah menariknya menuju sungai atau pemukiman. Hari itu, warga bergotong royong membantu Pak Martinus menarik sampan buatannya dari hutan.
Sampan tersebut masih dalam kondisi kasar, panjangnya sekitar empat meter dan terbuat dari kayu katuka. Sampan itu akan digunakan Pak Martinus untuk keperluan sehari-hari. Setelah tiba di desa, sampan akan diperhalus menggunakan ketam dan dicat untuk mencegah serangan teritip serta moluska sungai dan laut yang dapat melubangi kayu.
Proses penarikan sampan melibatkan banyak orang karena ukuran dan bobotnya yang besar. Sampan diangkat dari tengah hutan menuju pemukiman dengan jarak sekitar tiga kilometer. Suasana penarikan berlangsung meriah dan penuh kegembiraan, diikuti antusias oleh warga desa.
Setelah sampan tiba, Pak Martinus mengadakan punen, yaitu syukuran dan makan bersama di rumahnya untuk menjamu warga yang telah membantu. Dahulu, punen dilakukan melalui ritual lengkap bersama sikerei. Kini, ritual tersebut disederhanakan dengan doa sebagai ungkapan syukur atas kayu besar yang telah ditebang dan berhasil dibentuk menjadi sampan baru.
Usai punen, kegiatan biasanya dilanjutkan dengan berburu di hutan sebagai tanda bahwa seluruh rangkaian pembuatan sampan telah tuntas.
Pada acara punen sampan baru, Pak Martinus memasang daun-daun yang biasa digunakan oleh sikerei, seperti mumunen, surak, dan sailempen, pada sampan tersebut. Daun-daun ini menjadi penanda bahwa sampan baru saja dibuat sekaligus simbol rasa syukur. Daun akan dibiarkan menempel hingga layu dengan sendirinya.
Sampan yang telah selesai kemudian digunakan sebagai alat transportasi utama masyarakat. Untuk memudahkan mobilitas, sebagian besar sampan kini dilengkapi mesin pompong sebagai penggerak.*
Sumber: ugla.id


