Fokus utama: Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang rusak akibat bencana.
“Kami datang memohon dukungan agar kebutuhan dasar masyarakat, terutama air minum dan sanitasi, dapat segera terpenuhi,” tegas JKA.
Respons pusat datang cepat. Kementerian PU menyalurkan bantuan tanggap darurat berupa tiga set HU dan satu unit MTA, serta berkomitmen melakukan identifikasi teknis lanjutan.
Pada saat bersamaan, Pemkab Padang Pariaman mengusulkan pembangunan 237 unit Hunian Sementara (Huntara) di 23 titik, tersebar di 16 nagari dan 9 kecamatan. Ini menandai pergeseran dari fase darurat ke fase rehabilitasi dan rekonstruksi.
Solidaritas dari Ranah hingga Rantau
Besarnya bencana memantik solidaritas luas. Relawan berdatangan. Bantuan mengalir. Para perantau Padang Pariaman di berbagai daerah ikut bergerak.
Pemerintah daerah membuka ruang kolaborasi seluas-luasnya. Posko didirikan di nagari dan kecamatan. Bahkan Rumah Dinas Bupati dibuka 24 jam sebagai pusat koordinasi relawan dan donatur.
“Alhamdulillah, relawan, tim Pemkab, TNI, dan Polri bekerja siang dan malam, terutama dalam distribusi bantuan harian,” ujar JKA.
Ia juga mengajak masyarakat aktif melaporkan jika masih ada warga terdampak yang belum tersentuh bantuan.
“Mari kita jadikan musibah ini sebagai perekat kebersamaan. Laporkan jika masih ada warga yang terlewat,” katanya.
Angka Kerugian, Kisah di Baliknya
Data mencatat, 4.842 rumah terendam, ribuan lainnya rusak 404 rusak berat, 344 rusak sedang, dan 2.708 rusak ringan. Sebanyak 4.847 warga mengungsi. Lebih dari 1.200 hektare sawah dan 577 hektare ladang rusak. 14.080 ekor ternak mati.
Namun di balik angka-angka itu, ada dapur yang tak lagi mengepul, sawah yang hilang, dan keluarga yang kehilangan orang tercinta. Bahkan ditemukan 40 jenazah yang terbawa aliran sungai dari daerah lain.
Bencana ini bukan hanya soal infrastruktur, tetapi tentang manusia.
Ujian yang Menguatkan Kepemimpinan
Total kerugian diperkirakan mencapai Rp1,37 triliun. Angka yang berat bagi daerah mana pun. Namun dari krisis ini, satu hal menjadi jelas: kepemimpinan tidak hanya diukur dari hasil pembangunan saat kondisi normal, tetapi dari cara menghadapi kehancuran.
John Kenedy Azis dan Rahmat Hidayat menghadapi bencana ini dengan dua kaki:
satu berpijak di lapangan bersama rakyat, satu lagi melangkah di ruang kebijakan bersama pusat.
Di tengah lumpur, longsor, dan duka, Padang Pariaman menemukan kembali kekuatannya pada kebersamaan, pada solidaritas, dan pada kepemimpinan yang hadir saat paling dibutuhkan. (*)





