KLIKGENZ | Pemerintah pusat telah menetapkan total Dana Desa dalam Undang-Undang APBN Tahun 2026 sebesar Rp60,6 triliun. Angka ini menandai perubahan arah kebijakan fiskal desa yang patut dicermati secara serius oleh seluruh pemangku kepentingan di tingkat desa.
Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa mengungkapkan bahwa sekitar Rp40 triliun dari total Dana Desa tersebut dialokasikan secara khusus untuk pembangunan gerai dan pergudangan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di seluruh Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam media briefing di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Dengan demikian, sisa Dana Desa yang dapat digunakan untuk pembiayaan program reguler desa hanya sekitar Rp20,6 triliun. Jika angka ini dibagi terhadap jumlah desa di Indonesia yang mencapai 75.259 desa (berdasarkan data SID Kemendesa), maka rata-rata alokasi Dana Desa tahun 2026 hanya sekitar Rp273,7 juta per desa.
Perlu digarisbawahi, angka tersebut merupakan rata-rata nasional. Realisasi Dana Desa yang diterima masing-masing desa akan sangat bergantung pada parameter yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan, antara lain jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, luas wilayah, status Indeks Desa, serta kinerja dan kepatuhan laporan penggunaan Dana Desa pada tahun-tahun sebelumnya.
Fakta menyusutnya ruang fiskal desa ini menjadi alarm penting. Desa tidak lagi dapat mengandalkan Dana Desa sebagai satu-satunya sumber pembiayaan pembangunan. Dibutuhkan langkah-langkah adaptif agar pelayanan publik dan pembangunan desa tetap berjalan optimal.
Pertama, desa perlu menyusun ulang RKPDes dan APBDes 2026 secara lebih selektif dan berbasis skala prioritas. Kegiatan yang benar-benar mendesak dan berdampak langsung bagi masyarakat, khususnya layanan dasar dan pengentasan kemiskinan, harus menjadi fokus utama.
Kedua, pengurangan kegiatan fisik yang tidak mendesak menjadi keniscayaan. Pembangunan yang dapat ditunda sebaiknya dijadwalkan ulang, mengingat keterbatasan anggaran yang tersedia.
Ketiga, penguatan program berbasis pemberdayaan masyarakat dan Padat Karya Tunai (PKT) menjadi strategi rasional. Selain relatif hemat biaya, program ini mampu menyerap tenaga kerja desa dan menggerakkan ekonomi lokal secara langsung.
Keempat, desa perlu menyiapkan sumber daya manusia untuk mengoptimalkan peran KDMP. Sesuai regulasi, minimal 20 persen Sisa Hasil Usaha (SHU) KDMP akan menjadi Pendapatan Asli Desa. Artinya, semakin profesional pengelolaan koperasi, semakin besar pula potensi pendapatan desa ke depan. KDMP tidak boleh sekadar menjadi proyek fisik, melainkan harus benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi desa.
Kelima, desa dituntut lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan alternatif. Optimalisasi BUMDes, kerja sama dengan dunia usaha, perguruan tinggi, pemerintah supradesa, hingga penguatan gotong royong masyarakat menjadi opsi yang tidak bisa diabaikan.
Keenam, optimalisasi aset desa yang sudah ada menjadi langkah efisiensi yang krusial. Bangunan, peralatan, dan fasilitas desa harus diberdayakan secara maksimal agar tidak hanya mengurangi belanja baru, tetapi juga berpotensi menghasilkan pendapatan alternatif.
Pada akhirnya, kebijakan Dana Desa 2026 menegaskan satu pesan penting: era pembangunan desa berbasis anggaran besar telah bergeser menuju era desa yang adaptif, inovatif, dan mandiri secara ekonomi. Desa yang mampu membaca perubahan ini akan tetap bertahan dan berkembang. Sebaliknya, desa yang tidak beradaptasi berisiko tertinggal dalam arus transformasi pembangunan nasional. [*]





