Pemulihan aset merupakan instrumen penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Selama ini penanganan tindak pidana korupsi lebih menitikberatkan pada pemidanaan terhadap pelaku: baik penjara, denda, atau restitusi. Pokoknya pemidanaan, baik pokok atau tambahan. Aset hasil korupsi, ketika ditemukan dan terbukti, sering disita atau dirampas sebagai bagian dari pidana tambahan. Namun pendekatan ini menunjukkan keterbatasan. Banyak kasus korupsi menghasilkan kerugian negara besar, tetapi pemulihan aset terhadap kerugian tersebut tidak memadai. Rumitnya pelacakan aset, penggunaan “nominee”, perusahaan cangkang, atau pengalihan aset lintas yurisdiksi membuat banyak aset justru lolos dari penyitaan. Kondisi ini mendorong kebutuhan paradigma baru: pemulihan aset tidak semata mengandalkan vonis pidana, tetapi mekanisme hukum yang memungkinkan negara mendapatkan kembali aset sedini mungkin, bahkan ketika proses pidana belum atau tidak bisa dijatuhkan.
Perubahan paradigma tersebut tertuang dalam gagasan mekanisme Non‑Conviction Based Asset Forfeiture (NCB-AF). Mekanisme ini memungkinkan aset yang diduga merupakan hasil kejahatan, termasuk korupsi dirampas melalui proses in rem terhadap aset, bukan in personam terhadap pelaku. Dengan demikian, proses hukum tidak harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Upaya pemulihan aset menjadi lebih proaktif, cepat, dan tidak tergantung pada proses pidana yang panjang atau berisiko gagal. Konsep ini bukan hal baru di dunia internasional. Banyak negara telah menerapkan NCB-AF sebagai bagian dari strategi asset recovery global. (Xavier Nugraha, 2019) Kondisi korupsi yang makin kompleks termasuk modus layering, penggunaan perusahaan cangkang, aset di luar negeri menuntut negara menyesuaikan regulasi dan pendekatan.
Konteks Indonesia, dewasa ini, gagasan NCB-AF perlu mendapat perhatian serius. Karena pengaturan perampasan aset yang ada saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi filosofi NCB. Sekalipun sudah ada norma hukum terkait perampasan aset melalui pidana maupun perdata, prosedurnya masih sangat tergantung pada pembuktian pidana terhadap pelaku. Regulasi baru berupa RUU Perampasan Aset diusulkan untuk mengisi celah tersebut, dengan memberikan payung hukum bagi perampasan aset tanpa pemidanaan. Pemerintah dan DPR menyatakan komitmen membahas RUU tersebut dalam Prolegnas 2025–2029, walaupun belum masuk prioritas 2025 karena perlu pengkajian mendalam agar tidak terjadi tumpang tindih dengan undang-undang lain seperti UU Tipikor dan UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Pergeseran menuju paradigma pemulihan aset tidak hanya soal regulasi, tetapi menyentuh aspek kelembagaan, prosedur penegakan, pelacakan aset, kerja sama domestik dan internasional, serta perlindungan hak asasi. Dalam konteks hukum Indonesia, penerapan NCB-AF membuka berbagai tantangan substantif maupun praktis. Dilain sisi terdapat risiko pelanggaran hak atas harta dan asas praduga tak bersalah, jika mekanisme perampasan aset hanya didasarkan pada bukti asal-usul harta dan bukan putusan pidana (Ilma, 2025).
Secara lebih konkret, kelemahan regulasi lama cukup nyata. Pendekatan konvensional perampasan aset sebagai pidana tambahan mengharuskan adanya putusan pidana. Jika pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau tidak dapat dijerat hukum karena berbagai alasan, aset hasil korupsi sulit dipulihkan. Walaupun secara teoretis asset forfeiture sudah diatur, efektivitasnya dalam memulihkan kerugian negara terbatas karena mekanisme dan prosedur yang lambat serta kurang sistematis.
Tidak hanya itu, implementasi perampasan aset menghadapi kekurangan di aspek teknis dan institusional. Kendala utama adalah lemahnya koordinasi antarlembaga, kurangnya SDM yang terlatih dalam forensik keuangan, serta ketidakjelasan transparansi dalam proses penyitaan dan pengelolaan aset sitaan. Aset yang disita kerap sulit diinventarisasi, dikelola, maupun dilelang secara optimal, sehingga nilai aset bisa menyusut atau bahkan hilang sebelum negara mendapatkan manfaat ekonomi dari aset tersebut.
Selain persoalan domestik, tantangan lintas yurisdiksi juga menjadi serius dalam upaya asset recovery internasional. Banyak kasus korupsi melibatkan aliran dana ke luar negeri, penyamaran melalui perusahaan offshore, atau pengalihan aset ke negara dengan peraturan perbankan yang ketat. Proses repatriasi aset juga menghadapi banyak hambatan: perbedaan sistem hukum, prosedur Mutual Legal Assistance (MLA) yang panjang dan rumit, serta keterbatasan diplomasi dan kerja sama internasional (Suwandono, 2025).
Dalam konteks inilah RUU Perampasan Aset menunjukkan relevansi strategis. Dengan memberikan payung hukum bagi perampasan aset tanpa pemidanaan, NCB-AF membuka peluang pemulihan aset secara efektif, termasuk aset internasional, sekaligus memperpendek alur hukum. Mekanisme ini memungkinkan negara bertindak segera terhadap aset mencurigakan, melakukan freezing atau penyitaan terhadap aset tersebut, tanpa bergantung pada putusan pidana. Dalam jangka panjang, hal ini dapat meningkatkan jumlah aset yang dipulihkan dan mengurangi kemungkinan hilangnya aset melalui pengalihan cepat oleh pelaku.
Meski menawarkan solusi, penerapan NCB-AF harus diimbangi dengan perlindungan hak asasi, meski perampasan dilakukan terhadap asset, bukan terhadap orang. Maka aspek keadilan substantif dan prosedural menjadi penting. Penentuan bahwa suatu aset “hasil kejahatan” harus dilakukan dengan bukti memadai: audit forensik, jejak transaksi keuangan, dan analisis hubungan aset–pelaku. Adanya mekanisme judicial review atau peradilan perdata yang independen juga diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Dalam pandangan perspektif hukum Islam, pendekatan seperti NCB bisa mendapat legitimasi melalui konsep ta‘zīr dan maqāṣid al-syarī‘ah (maksud ditetapkannya hukum), yakni pengembalian aset demi kemaslahatan umum dan perlindungan aset publik justru diperkuat, asalkan dilaksanakan secara adil dan akuntabel.
Aspek kelembagaan dan kapasitas penegak hukum juga menentukan keberhasilan. Tanpa SDM yang terlatih dalam tracing aset, audit keuangan, serta analisis transnasional, keberadaan regulasi baru tidak akan secara otomatis menghasilkan pemulihan aset yang optimal. Institusi penegak hukum di Indonesia perlu peningkatan kapasitas, khususnya pelatihan forensik keuangan, kerja sama internasional, dan mekanisme akses data keuangan & kepemilikan. Bahkan ketika aset berhasil disita, pengelolaan aset sitaan dan proses lelang harus dikelola dengan transparan dan profesional agar nilai aset tidak merosot dan negara memperoleh kembali nilai ekonomis maksimal.





